Oleh: Ida Nur Laila
Setiap pagi, selesai adzan subuh, suara berderak
sapu lidi menyentuh tanah, adalah musik harianku. Bukan aku yang
melakukannya, tetapi Sumi, tetangga depan rumahku.
Wanita
sederhana usia 42 tahun itu selalu menyapu halaman rumahku, setiap pagi,
hampir selalu. Mungkin dalam setahun ia hanya cuti melakukan aktivitas
itu 3 atau 4 kali.
Aku pernah bertanya padanya, “Bagaimana mungkin kamu sudah memegang sapu, sedangkan jamaah shalat di masjid belum pulang?”
Saat itu aku pulang dari subuhan di masjid, dan ia telah menyelesaikan sebagian besar halaman rumahku dengan sapu lidinya.
“Saya bangun sebelum subuh, menjerang air, lalu berwudhu. Begitu adzan, saya langsung subuhan lalu ambil sapu…” jawabnya.
Waah…
Kucontohkan pada anak-anakku, kisah itu. Bahwa semestinya setiap orang berpagi-pagi menjemput rezeki seperti mbak Sumi.
“Tapi kenapa mbak Sumi hidupnya begitu-begitu saja?” tanya anakku.
Aku
paham apa yang dia maksudkan dengan begitu-begitu saja… Anakku belum
bisa melihat kehidupan secara utuh. Barangkali juga banyak orang lain
melihatnya demikian. Biar lebih jelas kuceritakan saja.
Sumi
adalah janda cerai dengan satu anak. Ia hidup bersama ibunya yang sudah
renta. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang dibangun dari hasil
bantuan untuk korban gempa, persis di tanah kas milik desa, di depan
rumahku. Anak semata wayangnya barusan lulus STM dan telah diterima
bekerja di sebuah pabrik pertambangan di Kaltim.
Sehari-hari Sumi
bekerja di sebuah pabrik mebel, pemasok ekspor ke beberapa negara. Aku
mengenalnya 6 tahun yang lalu, sejak kami pindah rumah ke kampung ini.
Awalnya aku melihat Sumi biasa saja, sebagaimana banyak perempuan desa
yang telah tinggal di kampung ini sebelum kami datang.
Perawakannya
kurus, tingginya sedang, kulitnya kecoklatan karena setiap hari
mengayuh sepeda berangkat dan pulang ke pabriknya yang berjarak sekitar 5
km dari tempat tinggalnya. Namun tidak disangka, perawakannya yang
kurus menyimpan tenaga yang sangat besar. Ia biasa mengangkat
mebel-mebel berat untuk dimuat di kontainer.
Sumi cukup pendiam,
bicara seperlunya saja. Ia tidak pintar berbasa-basi atau beramah tamah.
Seolah ia terlahir hanya untuk bekerja. Pada awalnya, aku mengira ia
tidak ramah. Namun setelah beberapa waktu, aku menghargai
kedisiplinannya.
Setiap pagi, tepat jam 07.00 ia pasti sudah
mengayuh sepeda menuju pabriknya. Nanti sekitar jam 16.00, ia akan
kembali tiba di rumah. Kadang jika lembur ia pulang sekitar jam 18.30.
Pada
jadwal normal, ia bersegera membereskan pekerjaan rumahnya, meladeni
orang tuanya dan membersihkan dirinya. Lalu saat adzan Maghrib berakhir,
ia sudah sampai di rumahku, bersiap menyeterika baju.
Aku pernah bertanya padanya, “Adzan Maghrib baru selesai, kok kamu sudah sampai sini? Apa kamu sudah shalat Maghrib?”
“Saya
mandi dan berwudhu sebelum Maghrib, lalu begitu adzan, saya langsung
shalat Maghrib tanpa menunggu usai adzan, setelah itu langsung ke sini…”
jawabnya.
Waah…
Lantas ia menyeterika cucian orang
serumahku yang menggunung. Kadang usai jam 21.00. Jika sangat banyak,
kadang usai jam 22.00. Hasil seterikaannya rapi.
“Jam berapa kamu istirahat?”
“Nanti sepulang dari sini, nyuci baju sebentar terus istirahat…”
Melihat kegigihannya menghidupi dirinya, ibunya dan anaknya, itulah aku bersimpati.
Pada suatu hari, empat tahun yang lalu, ia tengah menyapu halaman dan aku menghampirinya.
“Anakmu sudah lulus SMP, mau melanjutkan di mana?”
“Tidak melanjutkan bu, saya tidak kuat membiayai sekolah SMU. Uang masuknya tidak sedikit….”
“Anakmu
harus sekolah, zaman sekarang kalau hanya lulusan SMP mau jadi apa.
Kamu suruh daftar dia ke STM, biar nanti bisa langsung kerja. Biar aku
carikan biaya.” Sejak itu aku punya anak asuh, anaknya Sumi.
Begitulah,
anaknya ternyata cukup berprestasi sehingga, begitu lulus, ia lolos
seleksi langsung disalurkan mengikuti pelatihan di Jakarta selama 3
bulan, lalu bekerja di pabrik pertambangan. Dan beberapa bulan setelah
dikirim ke Samarinda, untuk pertama kalinya ia pulang dari Kaltim dengan
naik pesawat…
Sampai di sini, apakah Anda bisa memahami ceritaku yang centang perenang ini?
Sesungguhnya,
rezeki itu, tidak selalu berbentuk materi, yang orang lain melihatnya
dengan standar tertentu. Sumi perempuan lugu, single parents. Ia hanya
menapaki hari-harinya, tanpa banyak keinginan dan tuntutan. Sejak dulu
sepeda kayuhnya tidak pernah ganti. Sejak dulu rumahnya tidak pernah
direnovasi, dan nyaris aku tidak pernah melihat dia piknik ke manapun.
Namun ia mensyukuri banyak hal.
Ia
selalu sehat dan kuat melakoni kewajibannya. Nyaris tak pernah sakit.
Itu adalah rezeki yang tak ternilai oleh harta. Ia bisa menyekolahkan
anak hingga mendapat pekerjaan yang sesuai. Anaknya bisa sekolah sampai
lulus. Itu adalah bagian dari rezekinya. Bahkan saat usai gempa yang
merobohkan rumahnya, ia mendapat bantuan uang dari perusahaannya yang
lebih besar dari yang diterima teman-temannya. Uang itu, sekitar Rp 4,5
juta, mungkin baginya cukup besar nilainya, ia serahkan pada kami, aku
dan suamiku.
“Bapak, ini uang dari perusahaan, tolong dipakai untuk membangun kembali rumah saya”
Dan suamiku mengiyakan saja, hingga dengan berbagai cara jadilah sebuah rumah tembok kecil ukuran 5 x 6 meter.
Saat
orang tuanya juga mendapat dana Pokmas untuk korban gempa, ia membangun
1 rumah lagi, bahkan kini mereka punya dua rumah kecil yang
berdampingan.
Bukankah itu rezekinya?
Mungkin orang melihat,
tak ada yang berubah dari kehidupan hariannya. Seperti pagi ini, ia
masih saja menyapu menembus dingin. Dan tak lama lagi ia akan mengayuh
sepeda, menuju pabriknya. Dan nanti sore ia telah hadir menyeterika.
Namun
aku tahu, ia menikmati semua itu. Dalam hatinya ada kebanggaan
mengingat anak semata wayangnya, yang telah bisa mencari penghidupan,
walau jauh di seberang, sementara anak lain seusianya, masih merengek
kepada orang tuanya. Kebahagiaan itu adalah bagian dari rezekinya.
Ayo berpagi-pagi menjemput rezeki dan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar