News Update :

06/09/12

Menjadi Manusia Peka Makna

Surah al-Kahfi memunculkan kesadaran kepada kita, tentang apa yang sedang terjadi di dalam diri. Apa yang kita percaya.

Bagaimana kita memandang dan berpikir. Memandang dan berpikir tentang hakikat kehidupan.

Apa nilai yang dipegang dalam menentukan prioritas dan sikap kita dalam keseharian.

Menghayati Surah al-Kahfi, membantu kita memahami diri kita sendiri, sebelum kita memahami orang lain. Memahami mengapa kita dan mereka bertindak-tanduk sedemikian rupa. Kita jadi tahu apa yang harus diperbaiki. Kita jadi jelas apa yang perlu diperbaiki. Ia membantu kita menjadi insan yang lebih baik, insan yang peka dengan MAKNA.

Renungilah pilihan-pilihan yang kita buat dalam sehari.

Saat bertemu dengan kebutuhan-kebutuhan diri, bagaimana kita membuat prioritas? Antara majelis ilmu dan pertemuan alumni sekolah. Antara buku dan baju. Antara makan dan berolahraga. Tabrakan antara dua agenda yang sama-sama harus diikuti. Bagaimana kita menentukan pilihan? Ia mencerminkan NILAI yang dipegang dalam kehidupan.

Pegangan nilai akan menentukan antara buku dan baju, mana yang lebih penting dan segera. Mana yang lebih wajar dilakukan pengorbanan untuk mendapatkannya. Mana yang kehilangannya memicu rasa rugi dalam diri.

Inilah nilai yang ditegurkan oleh lelaki mukmin kepada sahabatnya yang Kafir, pemilik dua kebun, dengan sangkaan bahwa kemuliaan diri adalah pada banyaknya harta dan pengikut. Bukan salah memperbanyak harta dan membesarkan pengikut. Namun di situkah kita meletak harga seorang DIRI?

"Ataupun air kebun itu akan menjadi kering ditelan bumi, maka dengan yang demikian, engkau tidak akan dapat mencarinya lagi" (QS Al-Kahfi 18:41)

Jika pemilik dua kebun itu menganggap, bahwa dirinya lebih mulia karena kebun, harta dan pengikutnya lebih hebat daripada sahabatnya yang mukmin, logika yang dilontarkan adalah: andai kebun, harta dan pengikut itu hilang, maka hilangkah harga dirimu? Hilang makna?

Analoginya, jika seseorang merasa angkuh menjawab panggilan telepon karena memakai Iphone 4S, tetapi bersembunyi di belakang dinding saat menjawab panggilan telepon karena memakai Nokia 3210, apakah kehilangan ponsel berarti hilang harga diri?

Kaya tidak menjadikan kita lebih tinggi harga diri.

Miskin juga tidak menjadikan kita lebih mulia.

Kaya dan miskin bisa menjadi sebab manusia jadi kufur.

Kaya dan miskin juga bisa menjadi sebab manusia bersyukur.

Kaya atau miskin hanya ujian. Bagaimana kita mengelola kekayaan dan kemiskinan, antara syukur dan sabar ... di situlah nilai diri kita bertambah dan berkurang. Yakni dalam sebuah TAQWA.

Sudah tentu nilai itu, terbit dari pandangan hidup.

Jika hidup ini adalah diri, dari diri ke diri, memenuhi kehendak dan kebutuhan diri, sebagaimana sempitnya kemampuan diri dan luasnya kemauan diri, manusia akan tertipu dengan apa yang diperoleh dirinya. Harta yang dikumpulkan terasa sebagai pertanda tinggi harga diri. Kekurangan harta terasa sebagai rendahnya nilai pada diri.

Jika hidup ini lebih dari sekadar diri, bahwa diri itu adalah ciptaan yang ada Penciptanya, yang menciptakan ciptaan oleh Pencipta itu ada TUJUAN, maka diri bukan untuk diri, tetapi diri untuk Pencipta diri. Di sinilah makna menjadi seorang hamba, yang memperhambakan diri bukan kepada diri, tetapi kepada Pencipta diri. Hidup adalah sebuah penghambaan.

Pandangan itu adalah hasil sebuah keyakinan.

Aqidah yang membantu mendefiniskan siapa diri, siapa pencipta diri, dan apakah arti kehidupan ini.
Sumber: islamedia.web.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright PKS Gunungpati 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com | Redesign by Pratama Widodo.