Surah al-Kahfi memunculkan kesadaran kepada kita, tentang apa yang sedang terjadi di dalam diri. Apa yang kita percaya.
Bagaimana kita memandang dan berpikir. Memandang dan berpikir tentang hakikat kehidupan.
Apa nilai yang dipegang dalam menentukan prioritas dan sikap kita dalam keseharian.
Menghayati
Surah al-Kahfi, membantu kita memahami diri kita sendiri, sebelum kita
memahami orang lain. Memahami mengapa kita dan mereka bertindak-tanduk
sedemikian rupa. Kita jadi tahu apa yang harus diperbaiki. Kita jadi
jelas apa yang perlu diperbaiki. Ia membantu kita menjadi insan yang
lebih baik, insan yang peka dengan MAKNA.
Renungilah pilihan-pilihan yang kita buat dalam sehari.
Saat
bertemu dengan kebutuhan-kebutuhan diri, bagaimana kita membuat
prioritas? Antara majelis ilmu dan pertemuan alumni sekolah. Antara buku
dan baju. Antara makan dan berolahraga. Tabrakan antara dua agenda yang
sama-sama harus diikuti. Bagaimana kita menentukan pilihan? Ia
mencerminkan NILAI yang dipegang dalam kehidupan.
Pegangan
nilai akan menentukan antara buku dan baju, mana yang lebih penting dan
segera. Mana yang lebih wajar dilakukan pengorbanan untuk
mendapatkannya. Mana yang kehilangannya memicu rasa rugi dalam diri.
Inilah
nilai yang ditegurkan oleh lelaki mukmin kepada sahabatnya yang Kafir,
pemilik dua kebun, dengan sangkaan bahwa kemuliaan diri adalah pada
banyaknya harta dan pengikut. Bukan salah memperbanyak harta dan
membesarkan pengikut. Namun di situkah kita meletak harga seorang DIRI?
"Ataupun
air kebun itu akan menjadi kering ditelan bumi, maka dengan yang
demikian, engkau tidak akan dapat mencarinya lagi" (QS Al-Kahfi 18:41)
Jika
pemilik dua kebun itu menganggap, bahwa dirinya lebih mulia karena
kebun, harta dan pengikutnya lebih hebat daripada sahabatnya yang
mukmin, logika yang dilontarkan adalah: andai kebun, harta dan pengikut
itu hilang, maka hilangkah harga dirimu? Hilang makna?
Analoginya,
jika seseorang merasa angkuh menjawab panggilan telepon karena memakai
Iphone 4S, tetapi bersembunyi di belakang dinding saat menjawab
panggilan telepon karena memakai Nokia 3210, apakah kehilangan ponsel
berarti hilang harga diri?
Kaya tidak menjadikan kita lebih tinggi harga diri.
Miskin juga tidak menjadikan kita lebih mulia.
Kaya dan miskin bisa menjadi sebab manusia jadi kufur.
Kaya dan miskin juga bisa menjadi sebab manusia bersyukur.
Kaya
atau miskin hanya ujian. Bagaimana kita mengelola kekayaan dan
kemiskinan, antara syukur dan sabar ... di situlah nilai diri kita
bertambah dan berkurang. Yakni dalam sebuah TAQWA.
Sudah tentu nilai itu, terbit dari pandangan hidup.
Jika
hidup ini adalah diri, dari diri ke diri, memenuhi kehendak dan
kebutuhan diri, sebagaimana sempitnya kemampuan diri dan luasnya kemauan
diri, manusia akan tertipu dengan apa yang diperoleh dirinya. Harta
yang dikumpulkan terasa sebagai pertanda tinggi harga diri. Kekurangan
harta terasa sebagai rendahnya nilai pada diri.
Jika
hidup ini lebih dari sekadar diri, bahwa diri itu adalah ciptaan yang
ada Penciptanya, yang menciptakan ciptaan oleh Pencipta itu ada TUJUAN,
maka diri bukan untuk diri, tetapi diri untuk Pencipta diri. Di sinilah
makna menjadi seorang hamba, yang memperhambakan diri bukan kepada diri,
tetapi kepada Pencipta diri. Hidup adalah sebuah penghambaan.
Pandangan itu adalah hasil sebuah keyakinan.
Aqidah yang membantu mendefiniskan siapa diri, siapa pencipta diri, dan apakah arti kehidupan ini.
Sumber: islamedia.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar